|
|
Sharaf : fi'il Tsulasi Mujarad Bab pertama dan ke dua |
|
أَمَّا الثُّلاَثِيُّ
الْمُجَرَّدُ : فَإِنْ كَانَ مَا ضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعَلَ مَفْتُوْحَ
الْعَيْنِ |
|
.فَمُضَارِعُهُ
يَفْعُلُ أَوْ يَفْعِلُ بِضَمِّ الْعَيْنِ أَوْ كَسْرِهَا نَحْوُ ; |
|
نَصَرَ يَنْصُرُ ; وَضَرَبَ يَضْرِبُ |
|
Adapun fi'il tsulasi mujarad : yaitu ( Bab 1 / bab 2 ) jika fiel madhi nya berwazan fa'ala yang di fatahkan 'ain fi;il nya |
maka pada fi'il mudari' nya ikut wazan yaf''ilu dengan di damahkan 'ain fi'il nya atau di kasrahkan 'ain fi'il nya |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Contoh : |
|
نَصَرَ – يَنْصُرُ |
|
Na-sho-ro (Dia seorang laki2
telah menolong) ; Yan-shu-ru (Dia seorang laki2 akan/sedang menolong), dan |
|
ضَرَبَ – يَضْرِبُ |
|
Dho-ro-ba (Dia seorang laki2
telah memukul) ; yadh-ri-bu (Dia seorang laki2 akan/sedang memukul) |
|
|
|
(Ref. Al-Kailani ; 3) |
|
—————— |
|
Glossary : |
|
Fiil Tsulatsi Mujarrod = Jenis kata kerja yg berasal dari tiga huruf
dengan tdk menerima tambahan. Merupakan salah satu dari pembagian bentuk
fi’il yg terdiri atas beberapa bab. |
|
Fi’il Madhi : Kata kerja yg menunjukan makna yg terjadi pada waktu yg telah
lewat. Wazan Tashrifnya ada 14. Binanya ada 6. |
|
Fi’il Mudhore : Kata kerja yg menunjukkan makna waktu yg sedang terjadi (Hal) dan yg akan datang (Mustaqbal). (Akan/sedang). Wazan Tashrifnya
ada 14. Binanya ada 12. |
|
Wazan =
Timbangan, Ukuran, Cetakan, Acuan, Referensi. Istilah yg dipakai dalam ilmu
shorof untuk mengetahui perubahan fungsi dan makna kata seperti pada posisi :
Fi’il Madhi, Fi’il Mudhore, Masdar, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Fi’il Amar,
Fi’il Nahyi, Isim Makan/Zaman, Isim Alat. |
|
|
|
|
Ditulis oleh iqbal1 |
|
HIKMAH : Tawadhu Rahasia Al-fiyah Bet 5 , 6, 7 |
|
|
|
|
|
بسـم الله
الرحمن الرحيم |
|
Bait 5 : |
|
وَتَقْتَضِي رِضَاً
بِغَيْرِ سُخْطِ # فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي |
|
Maka ia menuntut keridhoan
tanpa kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya) # Ia telah
mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibnu Mu’thi (Imam Abu Zakariya Yahya putra
Imam Mu’thie). |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Qouluhu Faiqotan : Bait ini disebutnya ‘Mutahharok’, -rubah ujung-, sebab asal
lengkapnya, ‘faa ieqotan minha bi alfi baeti’. |
|
Diceritakan bahwa setelah Kyai
Mushonif selesai mengarang bait ini, mendadak semua karangan Al-fiyahnya
hilang dari ingatan, mendadak menjadi lupa. Syahdan sampai 2 tahun lamanya,
serta Kyai Mushonif sempat tidak sadarkan diri. |
|
Dalam tidak sadarkan
diri, syahdan Kyai Mushonif bermimpi jumpa dengan seseorang yang sudah sepuh.
Kemudian orang tsb mengajukan pertanyaan kepada Kyai Mushonif : |
|
“Bukankah engkau
mengarang Al-fiyah, sudah sampai dimana ?”. Lantas orang tsb
memberikan bait berikut, |
|
“Wal hayyu qod yaghlibu alfa
mayyiti”. (Dan adapun seorang yang hidup, terkadang dapat
mengalahkan seribu orang yang telah meninggal). |
|
Adapun orang yang dijumpai
dalam mimpi tersebut tiada lain adalah Syaikh Al-’alamah Imam Abu
Zakariya Yahya ibnu Imam Mu’thie, ulama yang telah terlebih dahulu
mengarang alfiyah. |
|
Setelah bermimpi seperti
itu, Syeikh Ibnu Malik terbangun, dan dapat mengingat kembali karangan
Al-fiyahnya seperti sedia kala. Lantas Ibnu Malik introspeksi dan
memohon permintaan maaf atas kemasgulan karangannya serta
kekhilafannya, kurang tawadhu dan telah su’ul adab kepada Imam Ibnu
Mu’thie dengan menyampaikan bait 6 berikut : |
|
Bait 6 : |
|
وَهْوَ بِسَبْقٍ
حَائِزٌ تَفْضِيْلاً # مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ |
|
Dan sebab lebih dulu
sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan mewajibkan
sanjungan indahku (untuknya). |
|
Yang maksudnya, jadi karena
Syeikh Ibnu Mu’thie sudah terlebih dahulu dalam zamannya, maka lebih utama
mendapat keunggulan, serta layak jika Ibnu Malik mengakui dan
memberikan sanjungan keutamaan kepada kitab karangan Ibnu Mu’thie serta
pribadinya. Adapun Ibnu Mu’thie, lahir tahun 564 H, wafat tahun 628 H
(Berusia 64 tahun). |
|
Sebagaimana ada ungkapan
bahwa ; “Al-fadhlu lil mutaqoddimiena”. (Adapun keutamaan itu, tetap kepada rupa2 orang yang
terdahulu). Seperti Imam dengan Ma’mum, Mubtada dengan Khobar, Jar dengan
Majrur, Orang tua dengan Anak, dsb. Lantas Ibnu Malik berdo’a kepada
Alloh SWT. dengan bait 7 berikut : |
|
Bait 7 : |
|
وَاللهُ يَقْضِي
بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ # لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ |
|
Semoga Allah menetapkan
pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam
derajat-derajat akhirat. |
|
Tanbih : Lafad “Wallohu yaqdhie” umpama menurut ilmu
ma’ani termasuk kepada lafad khobar, maknanya du’a. Adapun yang dimaksudnya
adalah ; “bi hibbati wafiroh”, yaitu “ubuutul iman wal islam” (Tetapnya iman dan islam). |
|
I’lam : Tapi menurut sebagian
ulama, bait ini kurang tepat, yang bagusnya adalah : “Wallohu
yaqdhie bir-ridlo’a warrohmah # Lie wa lahu wa li jamie-iel ummah”. Wallohu a’lam. *** (Iqbal1). |
|
|
|
|
Ahlak, Ilmu Nahwu / Sharaf
(Alat) | |
|
Ditulis oleh iqbal1 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dan Bentuk Fi’il terbagi lagi
kepada : |
|
1. Bina Salim, artinya bentuk
fi’il yg selamat pada asal huruf-hurufnya daripada huruf Illat, Hamzah, dan
Tadh’if . |
|
2. Bina Ghair Salim, artinya
bentuk fi’il yg tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada huruf Illat,
Hamzah, dan Tadh’if . |
|
“ وَنَعْنِيْ
بِالسَّالِمِ مَا سَلِمَتْ حُرُوْفُهُ اْلاَصْلِيَّةُ الَّتِيْ تُقَابَلُ
بِالْفَاءِ وَالْعَيْنِ وَالاَّمِ مِنْ حُرُوْفِ الْعِلَّةِ وَالْهَمْزَةِ
وَالـتَّضْعِيْفِ “. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
“Dan kami mengartikan tentang
Fi’il Salim : adalah kalimat yang huruf-huruf aslinya yang terdiri dari Fa’
Fi’il, ‘Ain Fi’il, dan Lam Fi’il, selamat dari huruf-huruf ‘Illat, Hamzah,
dan Tadh’if ” – (Al-Kailanie, Litashriefil-Izzie : 2 – 3). |
|
Contoh Bina Salim, seperti : |
|
نَصَرَ – ضَرَبَ –
فَتَحَ |
|
Contoh Ghair Salim, seperti : |
|
مَدَّ – سَأَ
لَ – قَالَ – رَمَى |
|
***** |
|
Glossary : |
|
Huruf Hamzah, ialah kalimah yang asal huruf-huruf aslinya ada huruf hamzah
pada Fa, ‘Ain, dan Lam fi’ilnya (Mahmuz). |
Apabila posisi huruf hamzah
menempati Fa’ Fi’il, maka dinamakan Bina’ Mahmuz Fa’. |
Contoh : أ
َمَلَ |
Apabila huruf hamzah berada
pada ‘Ain Fi’il, dinamakan Bina’ Mahmuz ‘Ain. |
Contoh : سَأ
َلَ |
Apabila huruf hamzah menempat
posisi Lam Fi’il, maka disebut Bina’ Mahmuz Lam. |
Contoh : قَر
َأَ |
|
Huruf ‘Illat, artinya sebab atau penyakit. Dinamakan demikian lantaran
huruf2 ilat itu sering jadi sebab buat memanjangkan lain huruf. Dan juga
sering dibuang dari satu kalimat lantaran tidak perlu sebagaimana dibuangnya
sesuatu yg berpenyakit. Hurup ‘Illat ; ialah Ya, Wawu, dan Alif. |
|
Huruf Tadh’if, ialah huruf-huruf kembar/ganda/dobel (Fi’il Dobel) yang
beridghom seperti Farro, ‘Adda, dsb. Idghom itu artinya memasukkan satu huruf
kepada satu huruf seperti Faroro dijadikan Farro. Bentuk fi’il ini bisa
merupakan fi’il Goer Salim, karena huruf asalnya tidak sebanding dg fa, ain
dan lam pada wazan fa-a-la. |
|
Maksud tadh’if disini
adalah jika pada Fi’il Tsulatsiy, yaitu jika ‘ain fi’il dan lam fi’ilnya terdiri dari huruf yang sejenis. Misalnya “Ro-d-da” : |
|
رَدَّ |
|
Dan maksud tadh’if dari Fi’il
Ruba’iy, yaitu jika fa’ fi’il dan
lam fi’il pertama
sejenis. Juga ‘ain fi’il dan
lam fi’il kedua
sejenis. Misalnnya “Za-l-za-la”, “Sa-l-sa-la” : |
|
زَلْزَلَ - سَلْسَلَ |
|
Tadh’if,
mujarodnya dho’afa, artinya lemah. Setelah didobel / ditambah, artinya jadi
melemahkan. Wallohu a’lam. (***) |
|
|
Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat),
Shorof | |
|
Ditulis oleh iqbal1 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
TAMSIL : SETANGKAI MAWAR PUTIH DAN SANG BURUNG |
|
|
|
suatu hari ada seekor burung yang jatuh cinta kepada putri |
Burung pun berusaha ungkapkan
perasaannya. |
Tapi mawar putih berkata ;
“Aku tidak akan pernah bisa mencintai kamu”. |
Burung pun tidak menyerah. |
|
Setiap hari dia datang
untuk menemui mawar putih. |
Akhirnya mawar putih berkata
; “Aku akan mencintai kamu, jika kamu dapat mengubahku menjadi mawar merah
!”. |
|
Dan suatu hari burung pun
datang kembali. |
Dia memotong sayapnya dan
menebarkan darahnya pada mawar putih. |
Hingga mawar putih berubah
menjadi mawar merah. |
|
Mawar putih pun sadar
seberapa besar burung mencintai dirinya. |
Tapi semua terlambat. |
Karena sang burung tak akan
pernah kembali lagi ke dunia. |
|
Hargailah siapapun yang
mencintaimu. Sebelum dia pergi jauh untuk meninggalkanmu. |
|
(syair dari seorang teman) |
|
Itu adalah buah karya sastra
yang cukup menyentuh. Tamsil legenda dari dua orang yang saling
mengasihi. Syahdan, tamsil cerita romantisme seperti itu diabadikan
juga oleh Ibnu Malik dalam Maha Karya Sya’ir Alfiyahnya. |
|
Dalam beberapa satarnya di
Bab Fi’il At-ta’ajjub dapat ditemukan seperti bait berikut (Bait 475) : |
|
وَتِلوَ أَفْعَلَ
انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا |
|
(Nashabkanlah lafadh yang
mengikuti wazan af’ala, seperti dalam contoh ; Maa
Aufaa Kholielaenaa dan Ashdiq Bihimaa. Artinya : Alangkah setianya dua orang kekasihku itu ; dan alangkah
setianya keduanya itu). |
|
Atau contoh
ungkapan sya’ir lain : |
|
“Kholielayyaa Maa Ahroo Bi
Dzillubbi An Yuroo ; Shobuuron Wa Laakin Laa abiela Ilaash-shobri”. |
|
Wahai kedua kekasihku,
alangkah pantasnya bagi orang yang memiliki akal bila ia bersikap sabar. Akan
tetapi tidak ada jalan untuk bersabar. Wallohu
a’lam.*** (Iqbal1) |
|
|
Ahlak, Ilmu Nahwu / Sharaf
(Alat) | |
|
Ditulis oleh iqbal1 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
KITAB AMTSILATU TASHRIFIYYAH |
|
|
|
|
Kitab ini menerangkan
ilmu sharaf. Susunannya
sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar. Hampir di
seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau pun negara luar,
kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap dikaji. Saking
masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan
Jombang”. |
|
Keagungan kitab ini tak hanya
terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata memuat makna filosofi
tinggi. |
|
Pada contoh fi’il
tsulasi mujarrad misalnya, keenam kalimat tersebut
memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang santri ditolong oleh orang tuanya
(nashara), sesampainya
di pesantren ia dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya agar berbuat
baik (hasuna). Ia
berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba). |
|
Kitab yang terdiri dari 60
halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit. Jadi kita tidak akan
kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera sambutan berbahasa
arab dari mentri Agama RI (Waktu Itu) , KH. Saifuddin Zuhri, dan di terbitan
baru ada pengantar dari Nyai Hj. Abidah Ma’shum, Kwaron.*** (Iqbal1) |
|
|
|
|
Ditulis oleh iqbal1 |
|
|
|
|
Catatan : Fi'il Ta'ajjub |
|
|
التَّعَجُّبُ |
|
بِأَفْعَلَ انْطِقْ
بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا # أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا |
|
وَتِلوَ أَفْعَلَ
انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا |
|
وَحَذْفَ مَا مِنْهُ
تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ # إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ
يَضِحْ |
|
وَفِي كِلاَ
الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا # مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا |
|
وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي
ثَلاَثٍ صُرِّفَا # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا |
|
وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ
يُضَاهِي أَشْهَلا # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ |
|
وَأَشْدِدَ أو
أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا # يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا |
|
وَمَصْدَرُ العَادِمِ
بَعْدُ يَنْتَصِبْ # وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ |
|
وَبِالنُّدُورِ
احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ # وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ
أُثِرْ |
|
وَفِعْلُ هَذَا
البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا # مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا |
|
وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ
أو بِحَرْفِ جَرّ # مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Adapun yang terdahulu membuat
shegat ta’ajjub adalah putera perempuannya Imam Abu Aswad Addualie, yaitu
pernah mengatakan begini : “Maa Asyaddul harri ?”. Terus kalimah itu
dibetulkan oleh ayahandanya sebab tarkibannya salah. Adapun yang benarnya
adalah begini : ”Maa Asyaddal harro”, artinya : “Amat sangat panasnya”, dan
(mengingat) ta’rifnya ta’ajjub itu yaitu : “Idrooku umuurin ghooribatin
khoofiyatis-sabab”. Artinya : “Menemukan perkara yang aneh dengan tidak hafal
sebabnya”. |
|
Syarat ta’ajjub itu ada tiga :
1. Harus menyandar (sanding) antara Maa Ta’ajjub dengan Fi’il Ta’ajjub. 2.
Fi’ilnya harus bangsa Tsulatsie. 3. Asal pokok Mu’ta’ajjub Minhu-nya wajib
ma’rifat, ilatnya lietahsielil faa idah. |
|
Rukun ta’ajjub itu ada tiga :
1. Maa ta’ajjubiyah. 2. Fi’il ta’ajjub. 3. Muta’ajjub minhu (ma’mul
ta’ajjub). |
|
Pembagian ta’ajjub itu ada
dua : 1. Ta’ajjub Dzatie, yaitu bilamana ta’ajjub diatur dengan wazan “Maa Af’ala” dan “Af’il Bihi”. 2.
Ta’ajjub ‘Arodhie, yaitu ta’ajjub yang keluar dari wazan “Fa’ila” dipindahkan ke wazan “Fa’ula” seperti “Qodhuwar rojulu”,
dan yang keluar dari jumlah ismiyah seperti “Wallohu dhorruhu faa risan”. |
|
Kesimpulan tiap2 Bait : |
|
Ta’ajjub adalah berarti juga ;
“Memperbesar kelebihan pada sifat fa’il yang penyebabnya masih samar”.
Ini sebaik2nya ta’rif seperti pendapat Ibnu Ushfur ; “Huwas-ti’dhoomu
ziyaadatin fie wasfil-faa’ili khofiya sababuhaa”. (Ibnu
Hamdun : 1 ; 232) |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 1 di atas : |
|
بِأَفْعَلَ انْطِقْ
بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا # أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا |
|
“Dengan yg turut akan wazan
af’ala, harus mengucapkan kamu (halnya tetap) setelah maa ta’ajjub ; Atau
mendatangkan kamu kepada mauzuun yg turut akan wazan af’il, halnya tetap
sebelum isim yang dijarkan oleh ba ziyadah”. |
|
Bentuk pertama : Bilamana akan menjadikan fi’il ta’ajjub, samakan saja kepada
wazan “af’ala”, diamkan setelah lafadh “maa”. |
|
Contoh : “Maa ahsana zaidan”
(Alangkah baiknya Si Zaed). – “Maa afdholahuu wa maa a’lamahuu” (Alangkah
utamanya dia dan alangkah alimnya dia). |
|
“Maa” adalah mubtada (ini
kata khusus permulaan kata fi’il ta’ajjub) bermakna sesuatu, dan
“af’ala” adalah fi’il madhi (kata kerja lampau bangsa tsulatsie -majied- /
berasal dari tiga huruf yg menerima tambahan), sedangkan fa’ilnya (subjeknya)
adalah dhamir (kt ganti) yg tersembunyi wajib disembunyikan, yg kembali
kepada “maa” ; dan isim yg dinashabkan ialah “muta’ajjub minhu” (pengikut
amal), berkedudukan sebagai “maf’ul beh” (objek penderita), sedangkan jumlah
semuanya merupakan khabar dari “maa”. |
|
Bentuk kedua : Atau samakan saja kepada wazan “af’il”, diamkan setelah
kalimat yang dijarkan oleh “ba-ziyadah”. Seperti “Ahsin bi zaedin ” (Alangkah
baiknya si zaid) – “Akrim bihi” (Alangkah mulianya dia). |
|
Lafadh “af’il” adalah fi’il yg
lafadhnya berbentuk amar tetapi maknanya adalah ta’ajjub (bukan perintah),
dan di dalamnya tidak mengandung dhamir. Sedangkan “bi zaedin” adalah
fa’ilnya. |
|
Bentuk asal kalimah “Ahsin bi
zaedin” (Alangkah baiknya Si Zaed) ialah “Ahsana Zaedun” (Si Zaed menjadi
orang yg baik) ; perihalnya sama dengan “Auroqosy-syajaru” (Pohon itu telah
berdaun), kemudian bentuknya diubah menjadi bentuk amar, maka dianggap tidak
baik bila secara langsung disandarkan kepada isim dhohir, untuk itulah maka
ditambahkan huruf “ba” pada fa’ilnya. (Wallohu ‘alam) |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 2 di atas : |
|
وَتِلوَ أَفْعَلَ
انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا |
|
“Dan harus menashabkan kamu
atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala. Tegasnya harus menashabkan kamu
atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala seperti Maa aufaa kholielaenaa wa
ashdiq bihima (Seperti perkara yang memenuhi dua sahabat/kekasih kami, serta
kaget benar keduanya)”. |
|
Kalimah yang menyandar/sanding
kepada fi’il ta’ajjub wazan “maa af’ala” maka harus dinashabkan. Contoh
seperti “Maa ahsana zaidan”, Ilat sebabnya harus nashab ; “li anna
ma’muulat-ta’ajjubi bi shurotil-fadhlati. Wa haqqul-fadhlati an yakuuna
manshuuban” (karena sesungguhnya “ma’mul maa fi’il ta’ajjub” itu seperti
tambahan/fadlah. Adapun hak-nya fadhlah terbuktinya dinashabkan). |
|
Adapun kalimah yang menyandar
kepada fi’il ta’ajjub wazan “af’il”, maka kalimat itu jar-kan oleh “haraf jar
zaidah laazimiyyah”. Contoh seperti lafadh “Ahsin bi zaedaeni” dan seperti
lafadh “Wa ashdiq bihimaa”. |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 3 di atas : |
|
وَحَذْفَ مَا مِنْهُ
تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ # إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ
يَضِحْ |
|
Adapun perkara fi’il ta’ajjub,
maka fi’il itu apabila ada dalil boleh dibuangnya, tetapkan (anggerkeun) fi’il ta’ajjubnya.
Contoh seperti lafadh dalam sya’iran : |
|
“Aroo umma amrin
dam’uhaa qod tahadaroo ; Bukaa-an ‘ala amrin wa maa kaana ashbaroo”.
“Wataqdieru maa kanaa ashbaroha“.
(Menyaksikan saya akan ibunya Ki Amar air matanya betul2 telah berlinang
; oleh sebab menangisi Ki Amar dan semoga menjadi sabar ibunya Ki Amar). |
|
“Haa” disitu (maa kanaa
ashbaroha) adalah maf’ul
lafadh ashbaro, dibuang karena menunjukkan kepada lafadh sebelumnya
(“lidalaalati maa qoblahu alaih / alaih bima taqoddama”). |
|
Contoh yg kedua seperti firman
Alloh SWT ; “Asmi’ bihim wa abshir (wallohu ‘alam). Attaqdieru wa abshir bihim. “Bihim” dibuang
setelah wa abshir”. |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 4 di atas : |
|
وَفِي كِلاَ
الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا # مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا |
|
Adapun perkara fi’il
ta’ajjub, baik wazan af’ala ataupun wazan af’il, maka fi’il itu dicegah
dua-duanya dari di-tashrif, meskipun mulanya menerima di-tashrif. Tegasnya
tidak pernah digunakan wazan af’ala selain fi’il madhinya, dan tidak pernah
digunakan wazan af’il selain fi’il amarnya. |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 5 / 6 di atas : |
|
وَصُغْهُمَا
مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا |
|
وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ
يُضَاهِي أَشْهَلا # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ |
|
Apabila hendak mencetak fi’il
ta’ajjub, maka fi’il itu harus menyamakan kepada persyaratan yang tujuh, yg
diterangkan dalam dua bait ini : |
|
1. Harus fi’il bangsa
tsulatsie. 2. Harus menerima di-tashrif. 3. Harus ada makna fi’il itu yang
menerima pada saling melebihkan. 4. Fi’ilnya harus fi’il tam (tdk goer
qiyas). 5. Fi’ilnya jangan manfi (negatif). 6. Dan tdk boleh fi’il yg
mempunyai shegat sama kepada wazan af’ala. 7. Dan fi’ilnya tdk boleh yg
majhul (pasif). |
|
Contoh fi’il ta’ajjub yg
memenuhi persyaratan seperti ini ; “Maa ahsana zaedun” dan seperti “Wa ashdiq
bihi”. |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 7 / 8 di atas : |
|
وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ
أَو شِبْهُهُمَا # يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا |
|
وَمَصْدَرُ العَادِمِ
بَعْدُ يَنْتَصِبْ # وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ |
|
Bilamana terdapat fi’il kosong
dari sebagian syarat, maka fi’il itu apabila dijadikan fi’il ta’ajjub
gantikan saja oleh lafadh “Asydid” atau oleh lafadh “Asyadda”, atau
“Syibahahnya”, tegasnya “Aktsaro” dan “Aktsir Bihi”. Kemudian ambil
masdharnya fi’il yg kosong dari setengahnya syarat itu, simpan setelah lafadh
“Asyadda”, bacanya harus “Dinashabkan”. Contoh seperti lafadh “Maa asyadda
dakhrojatahu”, atau seperti lafadh “Maa asyadda istikhroojahu”. |
|
Atau simpan setelah lafadh
“Asydid” beserta wajib dijarkan oleh “Ba zaidah” masdar itu. Contoh seperti
lafadh “Asydid bi dakhrojatihi”, atau seperti lafadh “Asydid bi
istikhroojatihi” (Ini ruba’i). |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 9 di atas : |
|
وَبِالنُّدُورِ
احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ # وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ |
|
Bilamana ada fi’il kosong dari
sebagian syarat, tetapi tetap dijadikan fi’il ta’ajjub, tapi tidak digantikan
oleh lafadh “Asyadda”, tidak digantikan oleh lafadh “Asydid”, dan tidak
digantikan oleh lafadh “Syibahahnya”, maka fi’il itu hukumnya “Langka”, tegasnya
“Samaa’i”, jangan diqiyaskan. Contoh seperti lafadh “Maa ahshorohu”, dan
seperti “Maa uhmiqoohu”, tegasnya di-mabni-majhulkan (Dipasifkan), dan seperti “Maa a’ssahu” dan seperti “a’si
bihi”. |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 10 di atas : |
|
وَفِعْلُ هَذَا
البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا # مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا |
|
Adapun perkara ma’mul fi’il
ta’ajjub, maka fi’il itu tidak boleh didahulukan, diakhirkan fi’il
ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh “Maa ahsana zaedun”, tdk boleh dibaca
“Zaedun maa ahsana”, dan seperti lafadh “Ahsin bi zaedin”, tdk boleh dibaca
“Bi zaedin Ahsin”. Ilatnya ; “Liannaha min adawaatil ibtida-i”. |
|
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di
bait 11 di atas : |
|
وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ
أو بِحَرْفِ جَرّ # مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ |
|
Adapun perkara antara fi’il
ta’ajjub dengan ma’mulnya dipisah oleh “Huruf Jar”, atau “Dhorof” (keterangan
waktu atau tempat), maka fi’il itu hukumnya rebutan kaol. Menurut sebagian
kaol “Jamaatu Nahwiyyin” serta Imam Ajjurumie, boleh dipisah dengan “dhorof”
atau “jar-majrur”. Menurut sebagian lagi tidak boleh, yaitu menurut Imam
Akhfasy dan Imam Mubarrod. |
|
Contoh yang boleh seperti
lafadh “Maa ahsana fie haejaa’i liqoo ahaa” (Aduh alangkah bagusnya pada
waktu susah menemui kekasih”) , dan seperti lafadh “Akrim fid-darbaati
‘athoo-a-haa” (Aduh alangkah mulyanya pada waktu susah memberinya tanda mata”.
Adapun ilatnya kenapa boleh dipisah dengan “Dharaf” dan “Jar-majrur”, karena
; “Liannadh-dhorfa wal jarro la yu’taddu bihimaa faa shilan”. (Karena
sesungguhnya dhorof dan jar-majrur tidak dihitung sebagai yang memisahkan).
Wallohu ‘alam*** (Iqbal1) |
|
Referensi : |
|
1. Hasyiyah Al-’alamah Ibnu
Hamduun ‘Ala Syarah Al-Makuudie Lil Al-fiyah Ibnu Maalik : (232-236). |
2. Syarah Ibnu ‘Aqiel ‘Ala
Al-fiyah Ibnu Maalik : (120-122) |
3. Mutamimmah Ajjuruumiyyah :
(A ; 36, B ; 388-389) |
4. Tashielul Masaalik Fie
Tarjamah Alfiyah Ibnu Maalik : (329-334) |
5. Al-Amtsilatu
At-Tashrifiyyah : (2-65) |
6.
Http://nahwusharaf.wordpress.com |
|
|
|
|
Ditulis oleh iqbal1 |
|
|
|
|
Alfiyah Bait 15 : isim Mu'rab dan isim mabni |
|
|
الْمُعْرَبُ
وَالْمَبْنِي |
|
وَالاسْمُ مِنْهُ
مُعْرَبٌ وَمَبْنِي ¤ لِشَبَـــهٍ مِنَ الْحُــرُوْفِ مُدْنِي |
|
Diantaranya Kalimat Isim ada
yang Mu’rab, dan ada juga yang Mabni karena keserupaan dengan kalimah Huruf
secara mendekati. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bait ini menjelaskan bahwa kalimah isim terbagi menjadi : |
|
|
Isim Mu’rob : yaitu Isim yang selamat dari keserupaan dengan Kalimat
Huruf. |
|
Isim Mabni :
yaitu Isim yang dekatnya keserupaan dengan Kalimat Huruf. |
|
Menurut pendapat Kyai
Mushannif bahwa yang menjadi illat kemabnian Kalimat Isim dirumuskan menjadi
“Serupa Kalimat Huruf” yang akan dijelaskan bagian-bagiannya pada dua bait
berikutnya. Rumusan Mushannif ini sejalan dengan pendapat Mazhab Nahwu lain
seperti Imam Abu Ali al-Farisi, juga Imam Sibawaih, bahwa Illat kemabnian
kalimat Isim semuanya dikembalikan kepada “Serupa kalimat Huruf”. *** (Ibnu
Toha) |
|
Ref. Al-majmuah Alfiyah
Ibnu Malik ; Tas-hilul Masalik Fi Tarjamah Alfiyah Ibnu Malik. |
|
|
|
|
Ditulis oleh iqbal1 |
|
|
|
|
|
Pembagian fi'il |
|
|
|
Setelah sebelumnya
mendefinisikan kata Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. Dilanjutkan mengenai
Fi’il dan Pembagian Fi’il. Fi’il (kata kerja) adalah kalimat (Bahasa
Indonesia: kata) yang memiliki arti pada dirinya sendiri dan berhubungan
dengan waktu, yaitu waktu Maadhi (lampau) Haal (sekarang) dan Istiqbaal (akan
datang). |
|
Kailani, 2 : |
|
ثُمَّ الْفِعْلُ اِمَّا
ثُلاَثِيٌّ وَاِمَّا رُباَعِيٌّ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا اِمَّا مُجَرَّدٌ
أَوْ مَزِيْدٌ فِيْهِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا إِمَّا سَالِمٌ أَوْ غَيْرُ
سَالِمٍ |
|
Kemudian Fi’il itu, satu
sisi: ada yang berbangsa tiga huruf (Tsulatsiy), dan pada sisi yang lain: ada
yang berbangsa empat huruf (Ruba’iy). Dan masing-masing dari kedua bangsa
itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid. Dan tiap-tiap satu dari semuanya,
baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan : |
|
(1).
Fi’il Tsulatsiy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah tiga. seperti ضَرَبَ dho-ro-ba,
arti: memukul. |
|
(2).
Fi’il Ruba’iy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah empat. seperti دَحْرَجَ da-kh-ra-ja, arti: menggelincirkan. |
|
Dengan demikian, dapat kita
simpulkan bahwa semua Asal huruf-huruf
Fi’il itu terfokus hanya kepada dua pembagian Fi’il tsb yaitu Tsulatsiy dan Ruba’iy. Sebagai patokan bahwa tidak
ada asal huruf Fi’il itu kurang dari tiga, atau lebih dari empat. Ketetapan
ini sudah diakui merupakan pengkajian dari kalam Arab. |
|
» Dan
masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya
Mazid. |
|
(1).
Mujarrad, artinya sepi dari tambahan pada asal huruf-hurufnya. |
|
(2).
Mazid, artinya ada penambahan pada asal huruf-hurufnya, baik tambahan satu
huruf atau lebih, seperti: أَضْرَبَ a-dh-ra-ba arti: mendiami. dan تَدَحْرَجَ ta-da-kh-ra-ja arti: tergelincir. |
|
»
Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair
Salim. |
|
(1).
Salim, artinya selamat pada Asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf
Illat, Hamzah, dan Tadh’if . |
|
Contoh : |
|
ضَرَبَ – دَحْرَجَ |
|
(2).
Ghair Salim, artinya tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada terdiri
dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if . |
|
Contoh : |
|
وَعَدَ – زَلْزَلَ |
|
(Ibnu
Toha) |
|
|
|
|
Ditulis oleh iqbal1 |
|
|
|
|
|
|
Ilmu Sharaf : DEFINISI TASHRIF |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sharaf atau
dibaca Shorof adalah salah satu nama cabang Ilmu dalam pelajaran Bahasa Arab
yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata (Bahasa Arab : kalimat).
Perubahan bentuk kata ini dalam prakteknya disebut Tashrif. Oleh karena
itu dinamakan Ilmu Sharaf (perubahan ; berubah), karena Ilmu ini khusus
mengenai pembahasan Tashrif (pengubahan; mengubah). |
|
Kailani, 1
: |
|
اِعْلَمْ، اَََنَّ
التَّصْرِيْفَ فِي اللُّغَةِ: التَّغْيِيْرُ، وَفِي الصَّنَاعَةِ: تَحْوِيْلُ
اْلأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُخْتَلِفَةٍ لِمَعَانٍ مَقْصُوْدَةٍ لاَ
تَحْصُلُ اِلاَّ بِهَا. |
|
Ketahuilah, bahwasanya yg
dinamakan Tashrif menurut Bahasa adalah : pengubahan. Sedangakan menurut
Istilah adalah: pengkonversian asal (bentuk) yang satu kepada contoh-contoh
(bentuk) yang berbeda-beda, untuk (tujuan menghasilkan) makna-makna yang
dimaksud, (yg mana) tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan
contoh-contoh bentuk yang berbeda-beda itu. |
|
Keterangan : |
|
Asal bentuk kalimat adalah
Masdar, ini menurut pendapat Ulama Bashrah. Pendapat ini lebih banyak
mendapat dukungan. Sedangkan menurut Ulama Kufah, asal bentuk kalimat adalah
Fi’il Madhi. |
|
Asal bentuk adalah Masdar,
dikonversikan ke sampel-sampel yang lain misalnya : Fi’il Madhi, Fi’il
Mudhari’, Fi’il Amar, Fi’il Nahi, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Isim Zaman, Isim
Makan, Isim Alat, Isim Murrah, Isim Hai’ah, Isim Nau’, Isim Tafdhil, Shighat
Mubalaghah dan lain-lain. Perubahan ke sampel-sampel tersebut, tujuannya
untuk menghasilkan makna yang diinginkan, tanpa mengubah ke sampel-sampel
tersebut maka kita tidak akan berhasil mencapai kepada makna yang kita
inginkan. |
|
Contoh: |
|
Asal kalimat adalah Masdar : ضَرْبٌ dibaca : Dhorbun, bermakna : Pukulan. |
|
Dirubah ke sampel Fi’il Madhi menjadi : ضَرَب
dibaca : Dhoroba, bermakna: Telah memukul. |
|
Dirubah ke sampel Fi’il Mudhari’ menjadi
: يَضْرِبُ dibaca: Yadhribu bermakna : Akan memukul. |
|
Dirubah ke sampel Fi’il Amar menjadi
: اِضْرِبْ dibaca : Idhrib bermakna : Pukullah! Dan sebagainya. |
|
Contoh tersebut di atas
dikatakan Tashrif, yaitu pengubahan asal bentuk yang satu kepada
sampel-sampel bentuk yang lain untuk menghasilkan makna yang dimaksud.
Demikian pembahasan Definisi Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. *** (Ibnu
Toha). |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
28-Sep-10 |
|
Segala puji bagi Allah,
Shalawat dan Salam Tercurah limpahkan kepada Rasulullah saw. |
|
Belajar Bahasa Arab
merupakan Fardhu Kifayah, karena merupakan jalan untuk bisa memahami
AL-QUR’AN dan ASSUNNAH, jika satu orang saja sekampung belajar Bahasa Arab,
maka penduduk sekampung tidak akan berdosa. Ini kalau sekiranya disandarkan
kepada penduduk kampung. Tapi kalau disandarkan kepada tiap individu Muslim,
wajiblah belajar Bahasa Arab yang mana dalam amalan-amalan Fardlu seperti
bacaan dalam Shalat, tidaklah shah tanpa Bahasa Arab. Imam Syafi’i berkata :
wajib pada tiap-tiap Muslim untuk belajar Bahasa Arab kalau ingin sampai
kepada kesungguhannya dalam melaksanakan kefardhuannya. Jika bukan karena
mengamalkan Fardhu, maka belajar Bahasa Arab hukumnya sunnah, selain yang
ingin mengetahui seluk beluk Syari’at Islam, karena wajib bagi para Alim
Syari’at belajar Bahasa Arab untuk memahami tentang Syari’at Qur’ani atau
Syari’at Haditsi. |
|
Alllah berfirman : |
|
[12:2] Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. |
|
[26:195] dengan bahasa Arab
yang jelas. |
|
[16:103. Dan sesungguhnya
Kami mengetahui bahwa mereka berkata : "Sesungguhnya Al Quran itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)." Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam,
sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang. |
|
Bahasa ‘Ajam ialah bahasa
selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik, karena
orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan hanya tahu
sedikit-sedikit bahasa Arab. |
|
Dan masih banyak dalil
ayat-ayat yang lain, bahwa AL-QUR’AN Berbahasa Arab dengan lisan Arab, bukan
Berbahasa Ajam (selain
Bahasa Arab) juga bukan dari lisan Ajam. maka jika ingin memahami al-Qur’an,
fahamilah secara lisan Arab. AL-QUR’AN tidak akan bisa difahami tanpa
pengetahuan secara lisan Arab. |
|
Para Masyayikh berkata :
Tidak boleh tidak, dalam menafsirkan Qur’an dan Hadits, harus mengetahui apa
yg menjadi dalil atas apa yg dimaksud dan yg dikehendaki Allah dan Rosulnya
dari lafadz-lafadz dan kalimat-kalimat, dan bagaiman cara memahami Firmannya.
maka kita dituntut untuk mengetahui Bahsa Arab untuk menjelaskan pengertian
dari maksud Firman Allah dan Sabda RasulNya. Begitu juga kita diharuskan
mengetahui dalil-dalil secara Lafzhiy atas Ma’aniy. Karena banyak yang salah
langkah dalam beragama, dikarenakan kurang fahamnya pada masalah ini.
Sehingga mereka membawa-bawa Firman Allah dan Sabda Rasulullah sebagai dalil
atas apa yang difatwakannya. Padahal yg dimaskud tidaklah demikian. (**) |
|
Ref.
Nahwusharaf.wordpress.com |
|
|
|
|
Ditulis
oleh iqbal1 |
|
|
|
|
|
Alfiyah Bait 12-13-14 pembahagian kalimat huruf dan kalimat fi'il serta ciri-cirinya |
|
|
سِوَاهُمَا الْحَرْفُ
كَهَلْ وَفِي وَلَمْ ¤ فِعْـــلٌ مُـضَــارِعٌ يَلِي لَمْ كَـيَشمْ |
|
Selain keduanya (ciri Isim
dan Fi’il) dinamakan Kalimah Huruf, seperti lafadz Hal, Fi, dan Lam. Ciri
Fi’il Mudhori’ adalah dapat mengiringi Lam, seperti lafadz Lam Yasyam. |
|
وَمَاضِيَ
الأَفْعَالِ بِالتَّا مِزْ وَسِمْ ¤ بِالنُّـــوْنِ فِعْلَ الأَمْرِ إِنْ
أَمْرٌ فُهِمْ |
|
Dan untuk ciri Fi’il Madhi,
bedakanlah olehmu! dengan tanda Ta’. Dan namakanlah Fi’il Amar! dengan
tanda Nun Taukid (sebagi cirinya) apabila Kalimah itu menunjukkan kata
perintah |
|
وَالأَمْرُ إِنْ لَمْ
يَكُ لِلنّوْنِ مَحَلْ ¤ فِيْهِ هُوَ اسْمٌ نَحْوُ صَهْ وَحَيَّهَلْ |
|
Kata perintah jika tidak
dapat menerima tempat untuk Nun Taukid, maka kata perintah tersebut
dikategorikan Isim, seperti Shah! dan Hayyahal! |
|
1. Pembagian
Kalimah Huruf dan Ciri-Cirinya |
|
Kalimah Huruf dapat dibedakan
dengan Kalimah-Kalimah yang lain, yaitu Kalimat selain yang dapat menerima
tanda Kalimah Isim dan tanda Kalimat Fi’il, atau Kalimat yang tidak bisa
menerima tanda-tanda Kalimat Isim dan Fi’il. Kemudian dicontohkannya dengan Lafad
هل, في, dan لم , ketiga contoh Kalimat Huruf tsb menunjukkan penjelasan bahwa
Kalimat Huruf terbagi menjadi dua : |
|
1.1. Kalimah Huruf Ghair
Mukhtash (Tidak Khusus), bisa masuk pada Kalimat Isim, juga bisa masuk pada
Kalimat Fi’il. Contoh هل : |
|
هَلْ زَيْدٌ قَائِمٌ
وَهَلْ قَامَ زَيْدٌ |
|
Apakah Zaid orang yg berdiri?
Dan apakah Zaid telah berdiri? |
|
Lafadz “HAL” yang pertama
masuk pada Kalimat Isim dan “HAL” yang kedua masuk pada Kalimat Fi’il. |
|
1.2. Kalimat Huruf Mukhtash
(Khusus), khusus masuk pada Kalimat Isim contoh في, dan khusus masuk pada
Kalimat Fiil contoh لم : |
|
لَمْ يَقُمْ زَيْدٌ
فِي الدَّارِ |
|
Zaid tidak berdiri di dalam
Rumah. |
|
2. Pembagian
Kalimah Fi’il dan Ciri-Cirinya |
|
Bait diatas juga menenerangkan
bahwa Kalimah Fi’il terbagi menjai Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’ dan Fi’il Amar
berikut ciri masing-masing. |
|
2.1. Dikatakan Fi’il Mudhori
apabila pantas dimasuki لم contoh : |
|
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُولَدْ |
|
Dia tiada beranak dan tidak
pula diperanakkan |
|
2.2. Dikatakan Fi’il
Madhi apabila pantas dimasuki Ta’ Fa’il dan Ta’ Ta’nits Sakinah contoh : |
|
قَالَتْ رَبِّ إِنِّي
ظَلَمْتُ نَفْسِي |
|
Balqis berkata: “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku” |
|
2.3. Dikatakan Fi’il Amar
apabila bentuknya menunjukkan perintah dan pantas menerima Nun Taukid contoh
: |
|
أَكْرِمَنَّ
الْمِسْكِين |
|
Sungguh hormatilah orang
miskin ! |
|
Apabila ada kalimah yang
menunjukkan kata perintah tapi tidak pantas menerima Nun Taukid, maka kalimah
tersebut digolongkan “Isim Fi’il” seperti lafadz حيهل menyuruh terima, dan
lafadz صه menyuruh diam, Contoh : |
|
صَهْ إذَا
تَكَلَّمَ غَيْرُكَ |
|
Diamlah ! jika orang lain
berbicara |
|
صه dan حيهل
keduanya disebut kalimat Isim sekalipun menunjukkan tanda perintah,
perbedaannya adalah dalam hal tidak bisanya menerima Nun Taukid. Oleh karena
itu tidak bisa dilafadzkan صهن atau حيهلن |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Alfiyah Bait 11 Tanda Kalimat Fi'il : Ta Fail , Ta Ta'nis yang sukun , Ya fa'il Nun Taukid |
17-Sep-10 |
|
بِتَا فَعَلْتَ
وَأَتَتْ وَيَا افْعَلِي ¤ وَنُوْنِ أَقْبِلَنَّ فِعْـــلٌ يَنْجَلِي |
|
Dengan tanda Ta’ pada lafadz
Fa’alta dan lafadz Atat, dan Ya’ pada lafadz If’ali, dan Nun pada Lafadz
Aqbilanna, Kalimah Fi’il menjadi jelas. |
|
Bait ini menjelaskan bahwa
Kalimat Fi’il dibedakan dari Kalimah Isim dan Kalimah Huruf, dengan beberapa
tanda-tanda pengenalnya sebagaimana disebutkan dalam bait syair, yaitu: |
|
1. Ta’ Fail |
|
Ta’ dalam contoh فَعَلْتَ dimaksudkan adalah Ta’ Fail
mancakup: |
|
Ta’ Fail untuk Mutakallim,
Ta’ berharkat Dhommah contoh : |
|
ضَرَبْتُ زَيْداً |
|
Aku memukul Zaid. |
|
Ta’ Fail untuk
Mukhatab, Ta’ berharkat Fathah contoh: |
|
ضَرَبْتَ زَيْداً |
|
Engkau (seorang laki-laki)
memukul Zaid. |
|
Ta’ Fail untuk
Mukhatabah, Ta’ berharkat Kasroh contoh: |
|
ضَرَبْتِ زَيْداً |
|
Engkau (seorang perempuan )
memukul Zaid. |
|
2. Ta’
Ta’nits Sukun |
|
Ta’ dalam contoh lafadz اَتَتْ Maksudnya adalah Ta’ Ta’nits
yang Sukun. Contoh : |
|
ضَرَبَتْ
زَيْداً |
|
Dia (seorang perempuan)
memukul Zaid. |
|
Menyebut Ta’ Ta’nits
Sukun untuk membedakan dengan Ta’ Ta’nits yang tidak sukun yang bisa masuk
kepada Kalimat Isim dan Kalimat Hururf |
|
Bisa masuk pada Kalimat Isim
contoh : |
|
هِيَ مُسْلِمَةٌ |
|
Dia seorang Muslimah. |
|
Bisa masuk kepada
kalimat Huruf contoh: |
|
وَلاَتَ حِينَ
مَنَاصٍ |
|
Ketika itu tidak ada tempat
pelarian. |
|
3. Ya’ Fa’il |
|
Ya’ dalam contoh lafadz افْعَلِيْ dimaksudkan adalah Ya’
Fail mancakup : |
|
Ya’ Fa’il pada Fi’il Amar.
Contoh: |
|
اضْرِبِيْ |
|
Pukullah wahai seorang
perempuan! |
|
Ya’ Fa’il pada Fi’il
Mudhori’, contoh: |
|
تَضْرِبِيْنَ زَيْداً |
|
Engkau (seorang perempuan)
akan memukul Zaid. |
|
Menyebut Ya’ If’aliy atau Ya’
Fail, dan tidak menyebut Ya’ Dhomir dikarenakan termasuk Ya’ Dhomir
Mutakallim yang tidak Khusus masuk kepada Fi’il tapi bisa masuk kepada semua
Kalimat contoh: |
|
سَأَلَنِيْ
اِبْنِيْ عَنِّيْ |
|
Anakku menanyaiku tentang
aku. |
|
4. Nun
Taukid |
|
Nun dalam contoh lafadz أقْبِلَنَّ dimaksudkan adalah Nun
Taukid mancakup: |
|
Nun Taukid Khofifah
tanpa Tansydid contoh: |
|
لَنَسْفَعَنْ
بِالنَّاصِيَةِ |
|
Sungguh akan Kami tarik
ubun-ubunnya. |
|
Nun Taukid Tsaqilah memakai
Tansydid contoh : |
|
لَنُخْرِجَنَّكَ يَا
شُعَيْبُ |
|
Sunggah kami akan
mengeluarkanmu wahai Syu’aib. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Alfiyah Bait 10 . Tanda kalimat isim : jar , Tanwin , nida' , al musnad |
|
|
بِالجَرِّ
وَالتّنْوِيْنِ وَالنِّدَا وَاَلْ ¤ وَمُسْنَدٍ لِلإسْمِ تَمْيِيْزٌ حَصَلْ |
|
Dengan sebab Jar, Tanwin,
Nida’, Al, dan Musnad, tanda pembeda untuk Kalimat Isim menjadi berhasil. |
|
Pada Bait ini, Mushannif
menyebutkan tentang Tanda-tanda Kalimat Isim (Kata Benda). Sebagai
ciri-cirinya untuk membedakan dengan Kalimat yang lain (Kalimat Fi’il/Kata
Kerja dan Kalimat Huruf/Kata Tugas). Diantaranya adalah : Jar, Tanwin, Nida’,
Al (Alif dan Lam) dan Musnad. |
|
1. Jarr |
|
جر |
|
Tanda Kalimat Isim yang
pertama adalah Jar, mencakup: Jar sebab Harf, Jar sebab Idhafah dan Jar sebab
Tabi’. Contoh: |
|
مَرَرْتُ
بغُلاَمِ زَيْدٍ الفَاضِلِ |
|
Aku berjumpa
dengan Anak Lelakinya Zaid yang baik itu. |
|
Lafadz غلام
dikatakan Jar sebab Harf (dijarkan oleh Kalimah
Huruf), Lafadz زيد
dikatakan Jar sebab Idhafah (menjadi Mudhaf Ilaih), dan Lafadz الفاضل dikatakan Jar sebab Tabi’
(menjadi Na’at/Sifat). Hal ini menunjukkan bahwa perkataan Mushannif lebih
mencakup dari Qaul lain yang mengatakan bahwa tanda Kalimat Isim sebab Huruf
Jarr, karena ini tidak mengarah kepada pengertian Jar sebab Idhafah dan Jar
sebab Tabi’. |
|
2. Tanwin |
|
تنوين |
|
Tanda Kalimat Isim yang kedua
adalah Tanwin. Tanwin adalah masdar dari Lafadz Nawwana yang artinya
memberi Nun secara bunyinya bukan tulisannya. Sebagai tanda baca yang
biasanya ditulis dobel ( اً-اٍ-اٌ ). Di dalam Ilmu Nahwu, Tanwin terbagi
empat macam: |
|
21. Tanwin
Tamkin : yaitu Tanwin standar yang pantas
disematkan kepada Kalimat-kalimat Isim yang Mu’rab selain Jamak Mu’annats
Salim dan Isim yang seperti lafadz جوار dan غواش (ada pembagian khusus).
Contoh: زيد dan رجل di dalam contoh : |
|
جَاءَ
زَيْدٌ هُوَ رَجُلٌ |
|
Zaid telah datang
dia seorang laki-laki |
|
22. Tanwin Tankir: yaitu Tanwin penakirah yang pantas disematkan kepada
Kalimat-kalimat Isim Mabni sebagai pembeda antara Ma’rifahnya dan Nakirahnya.
Seperti Sibawaeh sang Imam Nahwu (yang Makrifah) dengan Sibawaeh yang lain
(yang Nakirah). Contoh: |
|
مَرَرْتُ
بِسِبَوَيْهِ وَبِسِبَوَيْهٍ آخَرَ |
|
Aku telah berjumpa
dengan Sibawaeh (yang Imam Nahwu) dan Sibawaeh yang lain. |
|
23. Tanwin Muqabalah: yaitu Tanwin hadapan yang pantas disematkan kepada Isim Jamak
Mu’annats Salim (Jamak Salim untuk perempuan). Karena statusnya sebagai
hadapan Nun dari Jamak Mudzakkar Salimnya (Jamak Salim untuk laki-laki).
Contoh: |
|
أفْلَحَ
مُسْلِمُوْنَ وَمُسْلِمَاتٌ |
|
Muslimin dan
Muslimat telah beruntung. |
|
24. Tanwin ‘Iwadh: atau Tanwin
Pengganti, ada tiga macam: |
|
24.1 Tanwin
Pengganti Jumlah : yaitu Tanwin yang pantas
disematkan kepada Lafadz إذ sebagai pengganti dari Jumlah sesudahnya. Contoh
Firman Allah: |
|
وَأنْتُمْ
حِيْنَئِذٍ تَنْظًرُوْنَ |
|
Kalian ketika itu
sedang melihat. |
|
Maksudnya ketika
nyawa sampai di kerongkongan. Jumlah kalimat ini
dihilangkan dengan mendatangkan Tanwin sebagai penggantinya. |
|
24.2 Tanwin
Pengganti Kalimah Isim: yaitu Tanwin yang pantas
disematkan kepada Lafadz كل sebagai pengganti dari Mudhaf Ilaihnya.
Contoh: |
|
كَلٌّ
قَائِمٌ |
|
Semua dapat
berdiri. |
|
Maksudnya Semua
manusia dapat berdiri. Kata manusia sebagai Mudhaf Iliahnya dihilangkan dan didatangkanlah
Tanwin sebagai penggantinya. |
|
24.3 Tanwin
Pengganti Huruf : yaitu Tanwin yang pantas
disematkan kepada lafadz جوار dan غواش dan lain-lain sejenisnya, pada
keadaan I’rab Rafa’ dan Jarrnya. Contoh: |
|
هَؤُلاَءِ
جَوَارٍ. وَمَرَرْتُ بِجَوَارٍ |
|
Mereka itu
anak-anak muda. Aku berjumpa dengan anak-anak muda. |
|
Pada kedua lafadz جوار
asal bentuknya جواري kemudian Huruf Ya’ nya dibuang
didatangkanlah Tanwin sebagai penggantinya. |
|
Pembagian macam-macam Tanwin
yang telah disebutkan di atas, merupakan Tanwin yang khusus untuk tanda
Kalimat Isim. Itulah yang dmaksudkan dari kata Tanwin dalam Bait tsb, yaitu
Tanwin Tamkin, Tanwin Tankir, Tanwin Muqabalah dan Tanwin ‘Iwadh. |
|
Adapun Tanwin
Tarannum/Taronnum dan Tanwin Ghali, yaitu Tanwin yang pantas disematkan
kepada Qofiyah atau kesamaan bunyi huruf akhir dalam bait-bait syair Bahasa
Arab. Tidak dikhususkan untuk Kalimat Isim saja, tapi bisa digunakan untuk
Kalimat Fi’il dan juga untuk Kalimat Harf. |
|
3. Nida’ |
|
نداء |
|
Tanda Kalimat Isim yang
ketiga adalah Nida’. Yaitu memanggil dengan menggunakan salah satu kata
panggil atau Huruf Nida’ berupa يا dan saudara-saudaranya. Huruf Nida
dikhususkan kepada Kalimat Isim karena Kalimat yang jatuh sesudah Huruf Nida’
(Munada) statusnya sebagai Maf’ul Bih. Sedangkan Maf’ul Bih hanya terjadi
kepada Kalimat Isim saja. Contoh: |
|
يَا
رَسُوْلَ اللهِ |
|
Wahai Utusan
Allah. |
|
4. AL (Alif Lam) |
|
أل |
|
Tanda Kalimat Isim yang
keempat berupa AL أل atau Alif dan Lam. Yaitu AL yang fungsinya untuk
mema’rifatkan dan AL Zaidah. Contoh: |
|
رَجَعَ
الرَجُلُ مِنَ المَكَّةَ |
|
Orang laki-laki
itu telah pulang dari kota Mekkah. |
|
AL pada Lafadz الرَجُلُ
dinamakan AL Ma’rifat, sedang AL pada Lafadz المَكَّةَ dinamakan AL Zaidah.
Sedangkan AL yang selain disebut di atas, tidak khusus masuk kepada Kalimat
Isim. seperti AL Isim Maushul yang bisa masuk kepada Kalimat Fi’il Mudhori’,
dan AL Huruf Istifham yang bisa masuk kepada Fi’il Madhi. |
|
5. Musnad |
|
مسند |
|
Tanda Kalimat Isim yang kelima
adalah Musnad. Artinya yang disandar atau menurut Istilah yang dihukumi
dengan suatu hukum. Contoh: |
|
قَاَمَ
زَيْدٌ وَ زَيْدٌ قَائِمٌ |
|
Zaid telah berdiri
dan Zaid adalah orang yang berdiri. |
|
Kedua Lafadz زيد pada contoh di atas merupakan
Musnad atau yang dihukumi dengan suatu hukum, yaitu hukum berdiri. Hukum
berdiri pada lafadz Zaid yang pertama adalah Kata Kerja dam Hukum berdiri
untuk Lafadz Zaid yang kedua adalah Khabar.(***) |
|
|
|
|
|
|
ILMU NAHWU / SARAF : ALfiyah 8-9 pengertian kalam ,kalim,qaul, dan kalimat |
|
|
|
|
|
|
|
الْكَلاَمُ وَمَا
يَتَألَّفُ مِنْهُ |
|
Bab Kalam dan Sesuatu yang
Kalam tersusun darinya |
|
كَلاَمُــنَا لَفْــظٌ
مُفِيْدٌ كَاسْــتَقِمْ ¤ وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ |
|
Kalam (menurut) kami (Ulama
Nahwu) adalah lafadz yang memberi pengertian. Seperti lafadz “Istaqim!”.
Isim, Fi’il dan Huruf adalah (tiga personil) dinamakan Kalim. |
|
وَاحِدُهُ كَلِمَةٌ
وَالْقَوْلُ عَمْ ¤ وَكَلْمَةٌ بِهَا كَلاَمٌ قَدْ يُؤمْ |
|
Tiap satu dari (personil
Kalim) dinamakan Kalimat. Adapun Qaul adalah umum. Dan dengan menyebut
Kalimat terkadang dimaksudkan adalah Kalam. |
|
KALAM |
|
Definisi Kalam menurut Istilah
Ulama Nahwu adalah Sebutan untuk Lafadz yang memberi
pengertian satu faedah yaitu baiknya diam.
Sehingga yang berkata dan yang mendengar mengerti tanpa timbul keiskalan. |
|
Lafadz adalah
nama jenis yang mencakup Kalam, Kalim, atau Kalimat, termasuk yang Muhmal
(tidak biasa dipakai) ataupun yang Musta’mal (biasa dipakai) contoh perkataan
Muhmal: دَيْزٌ Daizun, tidak mempunyai arti. Contoh perkataan Musta’mal
عَمْرٌو ‘Amrun, ‘Amr nama orang. |
Mufid (yang
memberi pengertian) untuk mengeluarkan Lafdz yang Muhmal, atau hanya satu
Kalimat, atau Kalim yang tersusun dari tiga kalimat atau lebih tapi tidak
memberi pengertian faedah baiknya diam, seperti Lafadz: اِنْ قَامَ زَيْدٌ
Apabila Zaid berdiri. |
|
Susunan Kalam pada dasarnya
Cuma ada dua: 1. ISIM + ISIM, 2. FI’IL + ISIM. Contoh pertama: زيد قائم Zaid
orang yg berdiri. Contoh kedua قام زيد Zaid telah berdiri. Sebagaimana contoh
Kalam yang disebutkan oleh Mushannif pada baris baitnya, yaitu lafadz استقم
ISTAQIM! Artinya: berdirilah! Pada lafadz ini terdiri dari Fiil ‘Amar dan
Isim Fa’il berupa Dhomir Mustatir (kata ganti yang disimpan) FI’IL + ISIM
takdirnya adalah استقم أنت ISTAQIM ANTA, artinya: berdirilah kamu! maka
contoh ini memenuhi criteria untuk disebut Kalam yaitu lafadz yang memberi
pengertian suatu faidah. Sepertinya Mushannif mendefinisikan kalam pada bait
syairnya sebagai berikut: Kalam adalah Lafadz yang memberi pengertian suatu
faidah seperti faidahnya lafadz استقم. |
|
KALIM |
|
Adalah nama jenis yang setiap
satu bagiannya disebut kalimat, yaitu: Isim, Fi’il dan Huruf. Jika Kalimat
itu menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri tanpa terikat waktu, maka
Kalimat tsb dinamakan KALIMAT ISIM. Jika Kalimat itu menunjukkan suatu arti
pada dirinya sendiri dengan menyertai waktu, maka Kalimat tsb dinamakan
KALIMAT FIIL. Jika Kalimat itu tidak menunjukkan suatu arti pada dirinya
sendiri, melainkan kepada yang lainnya, maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT
HURUF. Walhasil Kalim dalam Ilmu Nahwu adalah susunan dari tiga kalimat tsb
atau lebih, baik berfaidah ataupun tidak misal: إن قام زيد jika Zaid telah
berdiri. |
|
KALIMAT |
|
Adalah lafadz yang mempunyai
satu makna yang biasa dipakai. Keluar dari definisi Kalimat adalah lafadz
yang tidak biasa dipakai semisal دَيْزٌ Daizun. Juga keluar dari definisi
Kalimat yaitu lafadz yang biasa dipakai tapi tidak menunjukkan satu makna, semisal
Kalam. |
|
QAUL |
|
Adalah mengumumi semua,
maksudnya termasuk Qaul adalah Kalam, Kalim juga Kalimat. Ada sebagian ulama
yang memberi dalih, bahwa asal mula pemakaian Qaul untuk Lafadz yang mufrad. |
|
Selanjutnya Mushannif
menerangkan bahwa menyebut Kalimat terkadang yang dimaksudkan adalah kalam.
Seperti lafadz لا إله إلا الله Orang Arab menyebut Kalimat Ikhlash atau
Kalimat Tahlil. |
|
Sebutan Kalam dan Kalim,
terkadang keduanya singkron saling mencocoki satu sama lain, dan terkadang
tidak. Contoh yang mencocoki keduanya: قد قام زيد Zaid benar-benar telah
berdiri. contoh tersebut dinamakan Kalam karena memberi pengertian, mempunyai
faidah baiknya diam. Dan juga dinamakan Kalim karena tersusun dari ketiga
personil Kalimat. Contoh hanya disebut Kalim: إن قام زيد Apabila Zaid
berdiri. Dan contoh hanya disebut Kalam: زيد قائم Zaid orang yang berdiri. |
|
|
0 Komentar
selalu ada jalan menuju roma !